Aku Hanya Sahabat Hatimu


Langit mulai redup ketika rembulan hendak bercengkerama dengan malam. Lampu-lampu kota mulai menyala memberikan nuansa kehangatan di setiap sudut kota. Namun Livia masih sibuk dengan pekerjaan, yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Di sampingnya, duduk sahabatnya, Boy. Laki-laki itu terlihat serius mengamati setiap goresan pena Livia di buku tulis tebal bergaris warna-warni itu. Mereka tak saling bicara, hingga tak terdengar suara barang sedikitpun di ruangan itu. Hanya suara gesekan lembaran buku dan detik jam dinding. Waktu terus berlalu sampai mereka sadar kalau langit hitam telah bertabur kerlip bintang. “Sudah malam rupanya, aku harus pulang. Biarlah sampai segitu saja, tak usah sampai selesai,” kata pemuda itu sembari menarik bukunya perlahan. Livia diam saja, ia hanya melepaskan buku itu dari genggamannya sambil mengamati sahabatnya itu, lalu tersenyum kecil ketika ia pamit pulang.

Malam semakin larut dan suasana jalanan berangsur sepi. Livia belum tidur juga, ia masih sibuk dengan dunianya sendiri. Mengerjakan hal-hal sepele yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh teman-temannya. Namun karena itulah cara berpikirnya begitu cepat dewasa. Tak ada yang tahu apa yang dikerjakannya ketika ia berjam-jam di kamar, sekalipun orang tuanya. Livia selalu punya kesibukan sendiri, ia jarang bergaul dengan teman-temannya dan ia tak pernah memusingkan hal-hal yang dianggap penting oleh teman-temannya. Termasuk tentang cinta. Di benaknya hanya terdapat sejuta design yang kreatif dan menakjubkan. Cita-citanya hanya satu, menjadi designer ternama. Sampai angin malam berhembus di dadanya. Memberikan rasa yang tak pernah ia rasakan.

Surya pagi mulai terpancar dari setiap celah langit pagi. Memberikan kehangatan bagi setiap insan di bumi. Menemani Livia yang telah duduk di bangku kayunya ketika teman-temannya belum datang. Sesekali ia keluar kelas, lalu kembali lagi. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Beberapa menit berlalu hingga terlihat sosok yang mengusik hatinya. “Boy!,” pekiknya. Hampir setiap hari hal itu terulang, tapi seperti ada yang berbeda hari itu. “Biasanya kau diam saja kalau aku datang,” ujar pemuda itu heran. Livia diam saja, ia justru menyembunyikan pandangannya. Sepertinya ia takut kalau sepasang bola mata mereka bertemu, karena ia tahu ada rasa yang berbeda muncul di hatinya.

Hari itu terasa begitu cepat bagi Livia, tak terasa mentari telah bersinar begitu terik dan jam pelajaran telah usai. Seperti biasanya, Boy menanti di depan gerbang sekolah untuk bertemu dengan Livia sebelum pulang. Siang itu, Livia sengaja menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Boy yang baru. Selain itu, ia juga ingin memastikan rasa yang terus merongrong batinnya itu. Sudah hampir setengah jam mereka berjalan, menapaki tanah tandus dan debu kota yang kian tebal. Sesekali tercium bau amis sampah dan anyir jembatan kota. Jalanan kumuh dan aspal yang telah berlubang jadi saksi bisu perjalanan mereka. Sesekali Livia mencuri pandang pada Boy, tubuhnya terlihat semakin kurus dan kulitnya semakin hitam. Hati gadis itu bergetar, seperti ada nyanyian iba melantun di hatinya. Jalan semakin sempit ketika mereka sampai di rumah Boy. “Ini Liv, rumah baruku,” ujarnya. Livia diam saja, hanya memandang nanar bangunan itu.

Livia masih tercengang ketika ia memasuki rumah itu. Di ruang tamu, masih terpampang foto ayahnya. Laki-laki yang telah menelantarkan Boy dan ibunya demi wanita lain. “Di mana ayahmu, Boy?” pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa gadis itu sadar. “Di rumah mewahnya, bersama isteri barunya,” suara pemuda itu bergetar, menyiratkan luka yang menganga di dadanya. Kemudian ia masuk ke dalam sejenak, lalu keluar bersama sekotak kado kecil. Diam-diam Livia tersenyum, ia merasakan kalau rasa yang mengusiknya bukanlah cinta, hanya sebatas iba terhadap kondisi sahabatnya. Tapi sayang, baru beberapa menit ia yakin rasa itu bukan cinta, keadaan memaksanya untuk kembali ragu. “Lagi-lagi dia menolak pemberianku, Liv,” ujarnya sembari menunjukkan kotak kecil itu.

Siang itu, bukan kali pertama Boy bercerita tentang kisah asmaranya. Dan bukan kali pertama pula Livia melihat air mata Boy mengalir karena gadis lain. Tapi kali ini ada yang berbeda. Biasanya dengan mudah Livia menghiburnya, membantu mendekatkan sahabatnya itu dengan gadis pujaannya, tapi tidak hari itu. Hati Livia begitu perih mendengar sahabatnya itu masih menaruh perasaan pada seorang gadis. Dalam hati ia berbisik, supaya gadis itu tak mau menambatkan perasaannya pada Boy. Buru-buru Livia pamit pulang sebelum Boy menyadari sikapnya yang berubah.

Hari demi hari berlalu, Livia selalu menghindar jika Boy mau bercerita tentang gadis pujaannya itu. Ia takut kalau suatu saat ia harus melepaskan sahabatnya itu untuk gadis lain. Hingga suatu hari, Livia sadar kalau cintanya hanya mimpi di siang hari yang tak akan jadi nyata. Perlahan ia melupakan sahabatnya itu, merobek-robek gambar pemuda yang tersimpan di hatinya itu. Sampai ada kumbang lain yang menghinggapinya. Saat itu, Livia mulai belajar tentang cinta. Bersama Leon ia belajar arti sebuah hubungan. Saat itu pula, ia menerima surat cintanya yang pertama.

Perlahan gadis itu membuka amplop merah jambu dengan wangi parfum semerbak mengalun. Ia sudah tak sabar membacanya. Namun itu bukan dari Leon, melainkan Boy.

Dear Livia,

Aku hanya ingin menyampaikan apa yang seharusnya sejak dulu aku sampaikan. Sebenarnya aku tak pernah menganggapmu sebagai sahabat, melainkan lebih dari itu. Aku selalu mencoba melupakanmu dengan menaruh hati pada gadis-gadis lain, tapi tak ada yang sepertimu. Aku tahu aku tak pantas untukmu, karena itu, aku memendam perasaan ini, biarlah aku melepasmu daripada harus membawamu ke dalam penderitaanku. Maaf kalau aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini langsung padamu, tapi percayalah, wajahmu memang pernah menghiasi dinding hatiku. Jadi, kuucapkan selamat atas hubunganmu dengan Leon, aku yakin dia lebih bisa membahagiakanmu. Terima kasih karena kau selalu ada untukku dan untuk tugas-tugasku, maaf kalau aku selalu merepotkanmu. Sebenarnya, bukan karena aku tak bisa mengerjakannya tapi karena aku begitu rindu melihat jemarimu menari di atas buku tugasku. Sekali lagi, terima kasih “sahabat hatiku”.

Boy


“Aku juga,” bisik Livia dalam hati.

Esok harinya, ia sempatkan berkunjung ke rumah Boy, dilihatnya tubuh pemuda itu lekat-lekat. Tubuh yang pernah menggetarkan hatinya, tapi sekarang rasa itu telah hilang, benar-benar hilang.

“Kau sudah baca suratku?”
“Sudah, aku...”
“Aku tahu, kau akan kuliah di luar negeri, kan?”
“Iya”
“Ya sudah, aku tahu kau akan lebih baik dengan Leon, dia orang cerdas, sama sepertimu”
“Tapi kau...”
“Tak apa-apa, biarlah kau bahagia aku juga pasti akan bahagia”
“Kau janji?”
“Janji apa?”
“Kalau kau akan bahagia?”
“Semoga...”
“Besok aku dan Leon berangkat ke Aussie”
“Pergilah, buktikan padaku kalau kau bisa jadi designer handal, seperti yang selalu kau ceritakan padaku dulu”
“Boy, aku...”
“Sudahlah lupakan aku, aku hanya serpihan kecil dari kehidupanmu”

Perlahan Livia meninggalkan tempat itu, dari kejauhan ia melihat sahabatnya itu tersenyum, ia begitu ikhlas mengorbankan perasaannya. Pemuda yang telah mengajari Livia tentang tulusnya cinta dan indahnya persahabatan.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar