Izinkan Aku Membalas Kasihmu


Tubuhnya masih terlihat kekar, meski kulitnya telah keriput. Kerutan di wajahnya menandakan seberapa banyak ia meneguk pahit getirnya kehidupan. Sesekali matanya menatap jalanan penuh harap. Sepasang mata yang dulu pernah memancarkan semangat yang menyala-nyala. Kutatap tubuhnya lekat-lekat, sosok yang dulu pernah kusegani. Kulihat ia tak banyak berubah. Hanya ubannya yang semakin banyak, bahkan hampir seluruh rambutnya telah memutih. Perlahan aku mendekat, tapi sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Mungkin matanya telah rabun. “Pak,” sapaku. Lama ia memandangiku sampai akhirnya ia mengenaliku. “Lama kita tak bertemu, kukira kau sudah lupa padaku,” katanya. Aku hanya tersenyum, lalu ia menawarkan sepiring singkong rebus padaku. “Ternyata makanan kesukaannya masih sama,” pikirku. Setelah itu kami berbincang-bincang. Membicarakan masa-masa indah yang dulu pernah kami lalui. Saat aku pertama kali bertemu dengannya dan saat ia pertama kali menjabat tanganku. Ah, tangan. Sayang, kini sepasang tangan itu sudah tak ada lagi. Padahal aku begitu rindu dengan tangan-tangan itu. Tangan yang telah mengajariku banyak hal. “Kudengar kau sudah menikah dan punya anak? Sayang aku tak bisa mengajari anakmu seperti aku mengajarimu dulu,” ujarnya lirih. Aku ingin sekali menghiburnya, tapi aku tak bisa. Dadaku begitu sesak menahan air mata. Aku tak mau menangis di depannya, karena dulu aku sudah sering berbagi air mata dengannya. “Tak apalah, Pak. Jika nanti anakku sudah dewasa, aku yang akan mengajarkan padanya apa yang pernah Bapak ajarkan padaku,” kucoba menghiburnya, tapi air matanya justru berlinang. Aku hanya memandangnya heran, lalu ia membasuh air mata itu. “Kalau Bapak ingin menangis, aku siap mendengarkan tangisan Bapak, karena dulu Bapak juga selalu mendengarkan tangisanku,” kataku. Sejenak ia menatapku, lalu ia bercerita tentang kerasnya kehidupan yang telah ia jalani bertahun-tahun. “Tiga tahun semenjak kau lulus SMA, aku mengalami kecelakaan, aku terluka parah dan kedua tanganku diamputasi. Semenjak itu pula, aku berhenti mengajar. Isteriku mencari nafkah seorang diri dan anakku hampir putus sekolah. Lalu mantan kekasihnya datang, menawarkan cinta dan tubuh yang normal. Ternyata hatinya goyah, ia meninggalkanku dan membawa anak kami pergi. Pernah ia datang kemari dan memberiku sejumlah uang, tapi aku menolaknya. Aku merasa, aku bukan tanggungannya lagi karena kami telah resmi bercerai. Kulewati hari-hariku seorang diri, pernah aku mengemis di pinggir jalan saat sisa tabunganku mulai menipis. Akhirnya, para tetangga kasihan padaku dan mereka yang memberiku makan setiap hari. Tapi aku tak berputus asa, aku tak mau hanya menjadi benalu bagi mereka. Terkadang, mereka meminta pendapatku saat mereka punya masalah. Seolah-olah aku adalah orang bijak yang tak punya masalah. Padahal sesungguhnya masalahku jauh lebih besar daripada mereka,” kisahnya terbata. Kusembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. “Hahahaha, ternyata kau bisa juga menangis karena aku,” guraunya. Aku begitu bangga padanya, sejak dulu ia memang pria tegar. Bahkan di saat seperti ini pun ia masih bisa tertawa. “Lalu anak Bapak? Dia pasti sudah besar sekarang,” tanyaku ragu. Aku takut membuatnya menangis lagi. “Setiap hari aku selalu berharap dia akan datang, tapi dia tak pernah datang. Barangkali telah lupa kalau pernah punya ayah seperti aku,” jawabnya. Aku tahu dia sedang menyembunyikan perih hatinya. Karena itu, tak kulanjutkan pertanyaanku.

Kulihat langit mulai jingga dan matahari berada di ufuk barat, aku segera pamit pulang sebelum rembulan datang. Sebelum aku pulang, aku janji padanya akan mengajaknya jalan-jalan besok. Aku tak menunggu jawabannya, karena aku takut ia akan menolaknya. Sepanjang jalan pulang, aku teringat semua yang dulu pernah kulalui bersamanya. Saat ia mengobrol denganku di sekolah, saat aku berebut buku dengannya di perpustakaan, dan saat kami pergi berdua, seperti layaknya kakak dan adik perempuannya. Waktu aku tiba-tiba pusing sehabis pelajaran olahraga, ia juga yang sibuk merawatku, seperti seorang ayah dengan anaknya. Ia selalu bisa menjadi apapun buatku. Terkadang ia menjadi kakak yang selalu membimbing adiknya, kemudian menjelma sebagai ayah yang selalu menjaga anaknya, lalu menjadi teman yang menemaniku saat aku kesepian. Seolah-olah kami tak pernah menganggap bahwa hubungan kami adalah murid dan guru. Semuanya terjalin dengan mesra, bahkan sampai aku lulus SMA. Sampai-sampai aku tidak pernah menyebutnya dengan kata “beliau” dan ia tidak pernah menyebutku “murid”. Jika kami pergi berdua, ia selalu katakan pada orang-orang kalau aku adalah anaknya. Dan orang-orang itu percaya, karena kami memang sangat akrab. Sayang, setelah kuliah di luar kota aku kehilangan komunikasi dengannya. Baru hari ini, kudengar dari salah seorang teman, kalau tempat tinggalnya masih sama seperti yang dulu.

Hari masih pagi ketika suamiku berangkat kerja dan aku mengantar anakku sekolah. Setelah semua tugasku sebagai isteri sekaligus ibu telah kutunaikan, kutepati janjiku yang kemarin. Ternyata, ia tidak menolakku, belum sempat aku memarkirkan mobilku, ia sudah siap di depan rumah. Kubukakan pintu untuknya, tapi ia justru menatapku sayu seperti meratapi cacat tubuhnya sampai membuka pintu mobil saja tak bisa. “Dulu Bapak yang selalu memboncengkanku dan mengatakan pada semua orang kalau aku adalah anak Bapak, sekarang aku akan membukakan pintu untuk Bapak dan mengatakan pada semua orang kalau Bapak adalah ayah saya,” ujarku. Pria itu tersenyum padaku, lalu aku membantunya naik mobil. Ia tidak bertanya apapun padaku. Seperti ia sudah tahu kemana aku akan membawanya. Saat mobilku berhenti, ia langsung tersenyum. “Mari, Pak saya bantu turun,” kataku sembari memegang tubuhnya, kurasakan otot-ototnya masih kuat, sama seperti dulu hanya kulitnya saja yang telah mengendur.

Aku membantunya menyeberang jalan dan kami berjalan menuju Pasar Seni, tempat yang dulu selalu kami datangi. Saat kami memasuki pasar, kulihat ada yang berbeda dari matanya. Mata yang tadinya sayu itu kembali bersinar, memancarkan kebahagiaan yang sedang ia rasakan. Tiba-tiba ia berhenti. Pandangannya tertuju pada para seniman yang menjajakan jasanya. “Dulu aku selalu melukis seperti itu, sayang semuanya telah kujual untuk membeli sesuap nasi,” katanya. Aku begitu iba padanya. Lalu kusuruh pelukis itu melukis wajah mantan guruku itu. “Jangan,” ujarnya tiba-tiba. “Jangan lukis aku saja, tapi lukislah aku dengan anak perempuanku ini,” katanya pada pelukis itu. Aku benar-benar terharu. Ingin rasanya aku menangis, setelah belasan tahun kami tak bertemu, ia masih menganggapku sebagai anaknya. Setelah lukisan itu jadi, aku hendak memasanganya di dinding rumah “ayah”ku itu. Tapi ia menolaknya. “Pasanglah di dinding kamarmu saja, jika sesekali kau rindu padaku, kau bisa memandanginya,” katanya. “Kalau aku rindu, aku kan bisa bertandang ke rumah,” sanggahku. Ia hanya tersenyum. Sebelum kami sampai di rumah, ia mengeluh kalau nafasnya sesak. Aku tawarkan obat asma, tapi ia bilang, ia tak punya penyakit asma. Kuajak ia ke rumah sakit, ia menolak. Lalu kuantarkan ia ke rumah, tapi aku lupa berjanji untuk menemuinya besok. Aku ingin kembali, sampai aku ingat kalau besok, aku harus mengantar anakku les matematika.

Sesampainya aku di rumah, kupasang lukisan itu di kamar. Tepat di sebelah foto pernikahanku. Sejenak kuamat-amati lalu aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata mamaku ingin aku besok ke rumahnya, katanya ia mau buatkan kue kesukaanku.

Esok hari, kuhabiskan waktuku di rumah mamaku sambil menunggu jam pulang sekolah. Tiba-tiba handphoneku bergetar. “Halo, saya tetangganya Pak Badrun, saya mau mengabarkan kalau Pak Badrun meninggal tadi malam, saya menemukan nomor ini di sebelah tempat tidur, makanya saya menghubungi nomor ini,” kata si penelepon itu. Mendadak tubuhku gemetar. Aku segera ke rumah orang yang telah menganggapku sebagai anaknya itu. Orang tuaku ikut pula bersamaku. Sesampainya kami di sana, kulihat tubuh kekar itu telah kaku, wajahnya pucat, dan tangannya dingin. Aku menangis, benar-benar menangis. “Tadi pagi, waktu saya hendak mengantar makanan untuknya, Pak Badrun sudah seperti ini,” kata salah seorang tetangganya. Lalu kusiapkan pemakaman untuknya. Saat pusaranya mulai ditimbuni tanah, pikiranku melayang jauh menerobos batas-batas waktu. Dulu, saat pertama kali aku masuk SMA, orang tuaku yang mengantarku ke rumah Pak Badrun, sampai akhirnya kami berkenalan dan semakin akrab. Kini, orang tuaku pula yang mengantarkanku untuk mengucapkan selamat tinggal pada mantan guruku itu. Setelah prosesi pemakaman selesai, kutaburkan bunga di atas makam itu sembari berbisik,”Selamat jalan ayah, terima kasih atas semua ilmu yang pernah kau berikan padaku.” Lalu kuhapus air mataku, dalam hati aku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk membalas kasih yang pernah dicurahkannya padaku, meski hanya sehari.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar