Sayap Garudaku yang Terluka


Burung-burung nampak terbang melayang di angkasa. “Andai saja aku bisa lari dari kenyataan hidup yang begitu pahit untuk kualami, pastilah aku bisa terbang seperti burung-burung itu,” ucap Margaretha dalam hatinya. Rosa yang duduk di sebelahnya hanya bisa tersenyum hambar melihat tingkah sahabatnya. Sebab di dalam hati sebenarnya Rosa merasa kasihan terhadap Margaretha. Maklum saja, sudah dua tahun ibunya yang menjadi TKW di Malaysia belum pernah memberi kabar apapun. “Ros, seandainya aku bisa seperti burung-burung itu aku ingin terbang dan menghampiri ibuku. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya,” ucap Margaretha. Mendengar ucapan Margaretha tadi, rasanya Rosa seperti disambar petir. Di dalam hati, ia ingin menangis melihat nasib sahabatnya. “Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan, sebaiknya kita pulang,” kata Rosa sambil menatap awan mendung dan segera meninggalkan tempat itu.
Kini tinggal Margaretha yang duduk diam terpaku di situ. Sepertinya ia tidak menghiraukan tetes demi tetes air hujan yang membasahi rambutnya. “Hanya ketika hujan turun aku bisa menangis sepuasnya,” gumamnya dalam hati seraya bergegas pulang.
Sesampainya di rumah, kebetulan neneknya sedang membuat teh hangat. “Kamu pasti kedinginan,” ucap neneknya sambil memberikan secangkir teh hangat. Tetapi Margaretha justru berlari ke kamarnya sambil menangis. Kemudian ia duduk di meja belajarnya, membuka lacinya dan mengeluarkan selembar kertas surat yang telah nampak kusam. Maklum, itu adalah surat terakhir yang ibunya kirim untuk Margaretha. Di dalam surat itu ibunya menuliskan sebuah puisi yang sering dibaca oleh Margaretha.

Buat : Penerang Jiwaku

Bintang kecil menari di langit malam
Menghiasi angkasa kelam
Jadikan malam tak terasa mencekam
Sepertimu yang membuat asaku tak tenggelam

Dari : Lentera Hatimu

Tak terasa air matanya mulai menetes. “Ibu, sekarang hatiku sedang gundah gulana. Aku kehilangan lentera hatiku, yaitu ibu. Aku akan selalu membuat harapan ibu tidak sirna,” gumamnya. Entah mengapa, pada saat itu Margaretha merasa benci pada tanah air dan bangsanya. Dahulu, ayahnya meninggal karena gugur di medan perang. Setelah itu keluarganya jatuh miskin dan ibunya terpaksa menjadi TKW di Malaysia. Toh, jika ibunya mengirim uang ringgit pada Margaretha maka uang itu akan masuk devisa negara dan sampai kepadanya dalam bentuk rupiah. “Keluargaku sudah banyak berkorban untuk negeri ini. Tapi negeri ini tak pernah memberi balasan apa-apa pada keluargaku,” kata Margaretha dengan nada marah dan jengkel. “Membela negara itu sudah menjadi kewajiban kita dan tak perlu mengharap imbalan,” kata neneknya yang sejak tadi mendengarkan gumaman Margaretha. “Nek, tapi di televisi sekarang ini makin marak adanya penyiksaan kepada para TKW. Bagaimana kalau ibu adalah satu diantara mereka?” kata Margaretha setengah membentak dan sambil berlari ke beranda rumahnya. Neneknya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Margaretha.
Di beranda, Margaretha duduk terpaku menatap pohon mangga yang tertanam di halaman rumahnya. Dahulu, Margaretha bersama ibunyalah yang menanam pohon itu. “Nanti kalau pohon ini sudah besar dan berbuah lebat, sebagian buahnya kita bagi-bagikan pada tetangga,” ucap ibu sebelum pergi ke Malaysia yang masih tersimpan rapi di dalam ingatan Margaretha. “Bu, kapan ibu kembali dan membagi-bagikan buah mangga ini pada tetangga?” kata Margaretha dalam hati. Saat itu ia berpikir bahwa kalau ia dapat memetik dan membagi-bagikan buah itu pada tetangga berarti ia telah membahagiakan ibunya. Segera ia berlari dan memanjat pohon yang tinggi besar itu. Belum sempat ia meraih salah satu dari buah mangga itu, ia terpeleset dan jatuh ke tanah. Setelah itu semuanya terasa gelap dan kepalanya begitu pening.
Ketika Margaretha sadar, ia telah berada di rumah sakit. Tadi neneknya yang mengantarkan Margaretha sampai ke rumah sakit. Namun pandangannya langsung tertuju pada anak seumurannya yang mengemis di depan rumah sakit. Ia dapat memperhatikan pengemis itu dengan jelas dari kamarnya. Di dalam hati sebenarnya ia menangis. “Mengapa di tanah airku banyak fakir miskin dan gelandangan?” ucapnya dalam hati. Mulai detik itu anggapan Margaretha tentang bangsa dan tanah airnya berubah. Kini ia punya tekad untuk memajukan bangsa dan tanah airnya. “Nak, kamu melamun?” kata nenek sembari membuyarkan lamunan Margaretha. “Kapan aku boleh pulang, Nek?” tanya Margaretha dengan terbata-bata dan bermaksud mengalihkan perhatian neneknya. “Besok pagi kamu sudah boleh pulang. Kebetulan lukamu tidak begitu parah,” kata nenek sambil tersenyum.
Sesampainya Margaretha di rumah, sifatnya kian hari kian berubah. Ia jadi lebih giat belajar dan nilai-nilainya sangat membanggakan hati neneknya. Ia juga telah meringankan beban neneknya dengan berbagai beasiswa yang didapat Margaretha. Hal itu terus berlanjut sampai ia menamatkan sekolahnya. Akhirnya ia bekerja sebagai manager di salah satu perusahaan swasta terkemuka di kotanya. Kini ia menjadi orang sukses dan hidup mewah bersama neneknya. Margaretha juga tak pernah menangis lagi. Sampai ia dihadapkan pada suatu hari yang memaksanya untuk mencurahkan air matanya. “Nek, hari ini tepat sepuluh tahun ibu pergi dari sisiku,” kata Margaretha pada neneknya. Neneknya yang sudah sangat tua hanya bisa menghibur. “Seandainya aku tahu di mana ibu berada pasti aku akan segera berangkat ke Malaysia dan mengajak ibu pulang. Tapi sekarang, di saat aku hidup berkecukupan, ibu bekerja dengan siapa dan bagaimana keadaannya aku tidak tahu,” ucapnya seraya menangis tersedu-sedu.
Akhirnya ia memutuskan untuk membagi-bagikan sebagian hartanya kepada fakir miskin. “Semoga ibu senang dengan tindakanku ini,” gumamnya dalam hati. Tetapi masalah tidak selesai sampai di sini. Di saat Margaretha sedang asyik membantu para fakir miskin, teleponnya berdering. Ternyata, bosnya menelepon dan mengatakan kalau perusahaan tempat ia bekerja sudah tidak sanggup lagi membayar hutang dan akhirnya gulung tikar. Jadi, mulai besok Margaretha sudah tidak bekerja lagi. Awalnya, Margaretha berpikir bahwa dengan kepandaiannya ia dapat dengan mudah mencari pekerjaan. Namun anggapannya salah. Sebagian besar perusahaan besar sudah banyak yang gulung tikar bahkan perusahaan-perusahaan terkemuka sekalipun.
Saat Margaretha sampai di rumah matanya tertuju pada patung burung garuda yang merupakan lambang negara Indonesia menggantung di dinding ruang tamu. Di mata Margaretha, burung garuda itu sayapnya terluka sehingga tidak bisa terbang bebas. Seperti keadaan negara yang kian memburuk. Banyak pengangguran, gelandangan, pengemis dan fakir miskin.
Margaretha akhirnya memutuskan untuk tinggal di desa saja. Ia kini tinggal di desa neneknya di daerah Cirebon. Kebetulan di desa itu banyak tersedia lahan. Tetapi anehnya, lahan itu kosong, hanya tanah yang ditumbuhi oleh rumput liar dan semak belukar. Nenek memang pernah bercerita kalau di desanya banyak tersedia lahan tetapi karena masyarakatnya kurang berpendidikan jadi lahan itu tidak ada yang mengolah.
Semalaman Margaretha tidak bisa tidur. Namun, bukan karena biasa tidur di kota jadi tidur di desa. Ia memikirkan burung garuda yang sayapnya terluka. Memang, sebenarnya sayap burung garuda itu tidak terluka. Namun jika Margaretha melihatnya dengan penuh imajinasi, sayap burung garuda itu seperti terluka. Entah mengapa justru burung garuda itu menjadi penyemangatnya untuk memperbaiki keadaan di negaranya. Kalau Margaretha ingat burung garuda yang melambangkan negaranya memiliki sayap yang terluka, ia merasa berkewajiban untuk memperbaiki negaranya.
“Mungkin apa yang dipikirkan ayah dan ibu sama seperti apa yang kupikirkan sekarang ini sehingga mereka rela berkorban untuk negara ini,” ucap Margaretha. Margaretha pun mulai menularkan ilmunya pada masyarakat di daerah itu. Lahan demi lahan mulai disulap menjadi lahan pertanian. Margaretha mulai mendapat pekerjaan baru. Ia membuat pupuk untuk tanaman di sawah-sawah. Hasil panen di daerah itu juga mulai terkenal di desa-desa sebelah. Tak jarang, para petani dari desa lain membeli pupuk dari Margaretha. “Ternyata tak ada salahnya juga aku mengambil jurusan pertanian waktu kuliah dulu,” kata Margaretha. “Waktu itu nenek juga sudah bilang kalau kamu punya bakat di bidang pertanian,” jawab neneknya. Makin lama hasil panen di daerah itu mulai terkenal kualitasnya sampai ke luar kota. Seiring waktu, pendapatan masyarakat di daerah itu juga mulai meningkat. Rumah-rumah warga juga tampak bagus-bagus dan tertata rapi. Margaretha selain bisa mengolah lahan pertanian di daerah itu juga dapat menaikkan pendapatan masyarakat di sana. Tak heran kalau hampir semua orang di wilayah itu tak asing lagi dengan nama “Margaretha”.
“Dengan melakukan hal semacam ini mungkin aku bisa mengobati sayap burung garudaku yang terluka,” kata Margaretha dengan wajah berseri-seri. Tiba-tiba bel rumahnya berbunyi. Ternyata Rosa, sahabat lamanya berkunung ke rumahnya. “Ros, aku sudah banyak membantu negara ini. Sebenarnya aku tak bermaksud mengharap imbalan, tapi aku hanya ingin bertemu ibuku,” kata Margaretha dengan penuh harap.
Margaretha sangat terkejut ketika pintu rumahnya terbuka. Tampak olehnya sosok tubuh wanita yang sudah tak asing lagi, “Ibu,” pekik Margaretha sambil berlari menghampiri ibunya. Neneknya yang baru saja keluar dari kamar tergopoh-gopoh juga ikut menangis haru. “Ibu sudah lama rindu denganmu, Nak, tetapi ibu kesulitan mengurus visa dan akhirnya ibu meminta bantuan duta Indonesia yang ada di Malaysia,” kata ibunya. “Aku baru tahu kalau ibu walaupun di Malaysia tetap diperhatikan oleh negara,” kata Margaretha dengan nada menyesal. “Terima kasih Indonesiaku,” kata Margaretha dalam hati. Begitulah, akhirnya ibunya memutuskan untuk tidak kembali melanglang buana ke Malaysia dan hidup bahagia bersama putri semata wayangnya.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Sebuah Pilihan

Adalah sebuah bimbang,
yang meronce tanya
dengan manik-manik ragu
dan senar yang terlalu menjerat

Tentang sebuah pilihan
untuk meniti masa
menuju asa
yang bergelayut di ujung hari

Hingga kuputuskan bimbangku
di antara hari-hari penantianku
yang hampir berakhir

Hanya berharap agar mimpi yang kupilih kala ini,
tak diterkam musang di ujung garis akhir

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Hujan

Malam semakin legam
dan surya t'lah tenggelam
tapi risau itu masih membekas
berenang dalam sisa-sisa air hujan
yang tumpah siang tadi
Bahkan, ketika rembulan telah bosan terjaga
untuk menanti pagi yang tak kunjung hadir
Aku masih di sini
merintih pilu bersama perih di jiwa
yang termakan emosi

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 1 komentar

~Tentang Sebuah Luka~

Kau pahat gerammu di langiku yang muram
hingga risauku menjadi kusut
dan pedihku berdesir pilu
saat menatap serpihan-serpihan badaimu
yang masih menyisakan luka
meski gerimis telah usai
membuat tubuh ini menggigil kaku
tuk bisa menjadi nahkoda di kapalmu yang hendak karam

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar