Izinkan Aku Membalas Kasihmu


Tubuhnya masih terlihat kekar, meski kulitnya telah keriput. Kerutan di wajahnya menandakan seberapa banyak ia meneguk pahit getirnya kehidupan. Sesekali matanya menatap jalanan penuh harap. Sepasang mata yang dulu pernah memancarkan semangat yang menyala-nyala. Kutatap tubuhnya lekat-lekat, sosok yang dulu pernah kusegani. Kulihat ia tak banyak berubah. Hanya ubannya yang semakin banyak, bahkan hampir seluruh rambutnya telah memutih. Perlahan aku mendekat, tapi sepertinya ia tak menyadari kedatanganku. Mungkin matanya telah rabun. “Pak,” sapaku. Lama ia memandangiku sampai akhirnya ia mengenaliku. “Lama kita tak bertemu, kukira kau sudah lupa padaku,” katanya. Aku hanya tersenyum, lalu ia menawarkan sepiring singkong rebus padaku. “Ternyata makanan kesukaannya masih sama,” pikirku. Setelah itu kami berbincang-bincang. Membicarakan masa-masa indah yang dulu pernah kami lalui. Saat aku pertama kali bertemu dengannya dan saat ia pertama kali menjabat tanganku. Ah, tangan. Sayang, kini sepasang tangan itu sudah tak ada lagi. Padahal aku begitu rindu dengan tangan-tangan itu. Tangan yang telah mengajariku banyak hal. “Kudengar kau sudah menikah dan punya anak? Sayang aku tak bisa mengajari anakmu seperti aku mengajarimu dulu,” ujarnya lirih. Aku ingin sekali menghiburnya, tapi aku tak bisa. Dadaku begitu sesak menahan air mata. Aku tak mau menangis di depannya, karena dulu aku sudah sering berbagi air mata dengannya. “Tak apalah, Pak. Jika nanti anakku sudah dewasa, aku yang akan mengajarkan padanya apa yang pernah Bapak ajarkan padaku,” kucoba menghiburnya, tapi air matanya justru berlinang. Aku hanya memandangnya heran, lalu ia membasuh air mata itu. “Kalau Bapak ingin menangis, aku siap mendengarkan tangisan Bapak, karena dulu Bapak juga selalu mendengarkan tangisanku,” kataku. Sejenak ia menatapku, lalu ia bercerita tentang kerasnya kehidupan yang telah ia jalani bertahun-tahun. “Tiga tahun semenjak kau lulus SMA, aku mengalami kecelakaan, aku terluka parah dan kedua tanganku diamputasi. Semenjak itu pula, aku berhenti mengajar. Isteriku mencari nafkah seorang diri dan anakku hampir putus sekolah. Lalu mantan kekasihnya datang, menawarkan cinta dan tubuh yang normal. Ternyata hatinya goyah, ia meninggalkanku dan membawa anak kami pergi. Pernah ia datang kemari dan memberiku sejumlah uang, tapi aku menolaknya. Aku merasa, aku bukan tanggungannya lagi karena kami telah resmi bercerai. Kulewati hari-hariku seorang diri, pernah aku mengemis di pinggir jalan saat sisa tabunganku mulai menipis. Akhirnya, para tetangga kasihan padaku dan mereka yang memberiku makan setiap hari. Tapi aku tak berputus asa, aku tak mau hanya menjadi benalu bagi mereka. Terkadang, mereka meminta pendapatku saat mereka punya masalah. Seolah-olah aku adalah orang bijak yang tak punya masalah. Padahal sesungguhnya masalahku jauh lebih besar daripada mereka,” kisahnya terbata. Kusembunyikan wajahku yang basah oleh air mata. “Hahahaha, ternyata kau bisa juga menangis karena aku,” guraunya. Aku begitu bangga padanya, sejak dulu ia memang pria tegar. Bahkan di saat seperti ini pun ia masih bisa tertawa. “Lalu anak Bapak? Dia pasti sudah besar sekarang,” tanyaku ragu. Aku takut membuatnya menangis lagi. “Setiap hari aku selalu berharap dia akan datang, tapi dia tak pernah datang. Barangkali telah lupa kalau pernah punya ayah seperti aku,” jawabnya. Aku tahu dia sedang menyembunyikan perih hatinya. Karena itu, tak kulanjutkan pertanyaanku.

Kulihat langit mulai jingga dan matahari berada di ufuk barat, aku segera pamit pulang sebelum rembulan datang. Sebelum aku pulang, aku janji padanya akan mengajaknya jalan-jalan besok. Aku tak menunggu jawabannya, karena aku takut ia akan menolaknya. Sepanjang jalan pulang, aku teringat semua yang dulu pernah kulalui bersamanya. Saat ia mengobrol denganku di sekolah, saat aku berebut buku dengannya di perpustakaan, dan saat kami pergi berdua, seperti layaknya kakak dan adik perempuannya. Waktu aku tiba-tiba pusing sehabis pelajaran olahraga, ia juga yang sibuk merawatku, seperti seorang ayah dengan anaknya. Ia selalu bisa menjadi apapun buatku. Terkadang ia menjadi kakak yang selalu membimbing adiknya, kemudian menjelma sebagai ayah yang selalu menjaga anaknya, lalu menjadi teman yang menemaniku saat aku kesepian. Seolah-olah kami tak pernah menganggap bahwa hubungan kami adalah murid dan guru. Semuanya terjalin dengan mesra, bahkan sampai aku lulus SMA. Sampai-sampai aku tidak pernah menyebutnya dengan kata “beliau” dan ia tidak pernah menyebutku “murid”. Jika kami pergi berdua, ia selalu katakan pada orang-orang kalau aku adalah anaknya. Dan orang-orang itu percaya, karena kami memang sangat akrab. Sayang, setelah kuliah di luar kota aku kehilangan komunikasi dengannya. Baru hari ini, kudengar dari salah seorang teman, kalau tempat tinggalnya masih sama seperti yang dulu.

Hari masih pagi ketika suamiku berangkat kerja dan aku mengantar anakku sekolah. Setelah semua tugasku sebagai isteri sekaligus ibu telah kutunaikan, kutepati janjiku yang kemarin. Ternyata, ia tidak menolakku, belum sempat aku memarkirkan mobilku, ia sudah siap di depan rumah. Kubukakan pintu untuknya, tapi ia justru menatapku sayu seperti meratapi cacat tubuhnya sampai membuka pintu mobil saja tak bisa. “Dulu Bapak yang selalu memboncengkanku dan mengatakan pada semua orang kalau aku adalah anak Bapak, sekarang aku akan membukakan pintu untuk Bapak dan mengatakan pada semua orang kalau Bapak adalah ayah saya,” ujarku. Pria itu tersenyum padaku, lalu aku membantunya naik mobil. Ia tidak bertanya apapun padaku. Seperti ia sudah tahu kemana aku akan membawanya. Saat mobilku berhenti, ia langsung tersenyum. “Mari, Pak saya bantu turun,” kataku sembari memegang tubuhnya, kurasakan otot-ototnya masih kuat, sama seperti dulu hanya kulitnya saja yang telah mengendur.

Aku membantunya menyeberang jalan dan kami berjalan menuju Pasar Seni, tempat yang dulu selalu kami datangi. Saat kami memasuki pasar, kulihat ada yang berbeda dari matanya. Mata yang tadinya sayu itu kembali bersinar, memancarkan kebahagiaan yang sedang ia rasakan. Tiba-tiba ia berhenti. Pandangannya tertuju pada para seniman yang menjajakan jasanya. “Dulu aku selalu melukis seperti itu, sayang semuanya telah kujual untuk membeli sesuap nasi,” katanya. Aku begitu iba padanya. Lalu kusuruh pelukis itu melukis wajah mantan guruku itu. “Jangan,” ujarnya tiba-tiba. “Jangan lukis aku saja, tapi lukislah aku dengan anak perempuanku ini,” katanya pada pelukis itu. Aku benar-benar terharu. Ingin rasanya aku menangis, setelah belasan tahun kami tak bertemu, ia masih menganggapku sebagai anaknya. Setelah lukisan itu jadi, aku hendak memasanganya di dinding rumah “ayah”ku itu. Tapi ia menolaknya. “Pasanglah di dinding kamarmu saja, jika sesekali kau rindu padaku, kau bisa memandanginya,” katanya. “Kalau aku rindu, aku kan bisa bertandang ke rumah,” sanggahku. Ia hanya tersenyum. Sebelum kami sampai di rumah, ia mengeluh kalau nafasnya sesak. Aku tawarkan obat asma, tapi ia bilang, ia tak punya penyakit asma. Kuajak ia ke rumah sakit, ia menolak. Lalu kuantarkan ia ke rumah, tapi aku lupa berjanji untuk menemuinya besok. Aku ingin kembali, sampai aku ingat kalau besok, aku harus mengantar anakku les matematika.

Sesampainya aku di rumah, kupasang lukisan itu di kamar. Tepat di sebelah foto pernikahanku. Sejenak kuamat-amati lalu aku tersenyum sendiri. Tiba-tiba telepon berdering. Ternyata mamaku ingin aku besok ke rumahnya, katanya ia mau buatkan kue kesukaanku.

Esok hari, kuhabiskan waktuku di rumah mamaku sambil menunggu jam pulang sekolah. Tiba-tiba handphoneku bergetar. “Halo, saya tetangganya Pak Badrun, saya mau mengabarkan kalau Pak Badrun meninggal tadi malam, saya menemukan nomor ini di sebelah tempat tidur, makanya saya menghubungi nomor ini,” kata si penelepon itu. Mendadak tubuhku gemetar. Aku segera ke rumah orang yang telah menganggapku sebagai anaknya itu. Orang tuaku ikut pula bersamaku. Sesampainya kami di sana, kulihat tubuh kekar itu telah kaku, wajahnya pucat, dan tangannya dingin. Aku menangis, benar-benar menangis. “Tadi pagi, waktu saya hendak mengantar makanan untuknya, Pak Badrun sudah seperti ini,” kata salah seorang tetangganya. Lalu kusiapkan pemakaman untuknya. Saat pusaranya mulai ditimbuni tanah, pikiranku melayang jauh menerobos batas-batas waktu. Dulu, saat pertama kali aku masuk SMA, orang tuaku yang mengantarku ke rumah Pak Badrun, sampai akhirnya kami berkenalan dan semakin akrab. Kini, orang tuaku pula yang mengantarkanku untuk mengucapkan selamat tinggal pada mantan guruku itu. Setelah prosesi pemakaman selesai, kutaburkan bunga di atas makam itu sembari berbisik,”Selamat jalan ayah, terima kasih atas semua ilmu yang pernah kau berikan padaku.” Lalu kuhapus air mataku, dalam hati aku bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk membalas kasih yang pernah dicurahkannya padaku, meski hanya sehari.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Maaf, Aku Telah Melukaimu


Sisa-sisa air hujan masih menggenangi jalan pulangku sore itu. Hawa dingin berhembus melewati celah-celah mantelku. Tapi aku tak mempedulikannya. Kupercepat langkahku untuk segera sampai ke rumah. Setibanya aku di rumah, aku mengunci diri di kamar. Kuhempaskan tubuhku yang terasa berat, tapi ringkih itu ke atas tempat tidurku. Perlahan kuambil handphone dari saku celanaku, hendak kulihat isi pesannya tapi aku takut. Aku takut kalau air mataku harus terjatuh lagi. Kuletakkan handphone itu di sampingku, kutata batinku, lalu kuberanikan untuk membaca pesan yang tertera di situ. Belum sempat aku membuka pesan itu, handphoneku sudah bergetar lagi. Dan lagi-lagi dari dia. Sepertinya dia memang tak mau dengar maaf dariku. Ingin aku membalas pesan itu, tapi aku tak berani, aku selalu takut dengannya, bahkan meski aku di pihak yang benar sekalipun. Aku memang seorang penakut, aku tahu itu, tapi sayang aku tak tahu bagaiamana mengubahnya. Setiap hari dia selalu sinis padaku, memusuhiku tanpa alasan yang jelas. Aku terluka, batinku begitu perih, tanpa aku tahu obatnya. Aku hanya bisa menangis. Hingga air mataku seakan mengajariku sesuatu. Mengubahku menjadi sosok yang tegar, kuat, dan bisa menghadapi persoalan. Semenjak itu, aku tak pernah lagi menangis, aku tak lagi takut menghadapi siapapun. Namun, masa laluku ternyata sangat mempengaruhi emosiku. Ia begitu labil, terkadang lembut, terkadang liar tak terkendali. Aku tak lagi mau diatur oleh orang lain. Karakterku menjadi keras dan terkadang memberontak.

Malam itu, aku terpaksa menangis. Bukan karena orang lain, bukan pula karena cinta. Aku marah dengan diriku sendiri. Aku jengkel dengan keadaanku. Aku putus asa. Mataku menerawang jauh ke angkasa, tapi tak ada yang merambati benakku, selain ingatan akan perkara-perkaraku yang lalu. Aku tak pernah bisa berdamai dengan emosiku. Dalam menghadapi setiap persoalan, aku tak pernah bisa tenang. Amarahku begitu mudah tersulut, sebelum aku sempat meredamnya. Aku tumbuh menjadi gadis temperamental dengan emosi yang liar tak terkendali. Entah sudah berapa banyak hati yang kecewa bahkan terluka karenaku.

Esok harinya, ternyata pagiku tak sehangat cahaya mentari yang terpancar menerobos tabir langit. Mona, orang yang dulu pernah menyiksa batinku kembali mengusikku. Aku tak menghiraukannya. Hanya diam, menahan emosiku yang mulai bergejolak. Sesekali aku ke kamar mandi, mencoba meredakan gejolak dadaku juga untuk membasuh air mataku. Air mata yang terjatuh bukan karena Mona, tapi karena menahan gejolak emosi yang semakin menjerat. Tapi tetap saja tak berhasil. Pada akhirnya kami bertengkar. Aku tak peduli ada berapa pasang mata yang melihat kami, semua terjadi begitu saja. Dan pada akhirnya, aku selalu menyesal atas apa yang tadi kulakukan.

Semenjak kejadian itu, aku sering melamun. Aku tak pernah bisa konsentrasi. Terkadang aku tersenyum sendiri, kemudian menangis tanpa sebab yang jelas. Banyak orang yang mulai membicarakanku, aku sangat tak nyaman dengan itu, tapi aku harus menerimanya. Hingga perasaan itu muncul, melunakkan segala yang keras dan mencairkan semua yang beku. Aku tak tahu bagaiamana ia bisa hadir. Namun yang jelas dia telah menyapa hatiku, menerangi selasar hatiku yang suram. Aku rasa, aku bisa melupakan sejenak persoalanku, karena pria itu benar-benar bisa memainkan emosiku. Pernah ia memberiku boneka beruang, tapi aku menolaknya. Karena aku takut, perasaan ini bukanlah cinta, hanya sebatas kagum yang suatu saat akan hilang.

Semakin hari, semakin aku belajar banyak hal, dia mengajariku untuk mengerjakan segala sesuatu dengan seimbang, tidak berlebihan dan tidak kurang. Hidupku mulai tertata demikian pula emosiku. Namun, sayang, di saat aku mulai bisa untuk menjalani kehidupanku dengan lebih baik, keadaan memaksa kami untuk berpisah. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Yang pasti, ada sesuatu yang berdesir di hatiku saat ia mengucapkan salam perpisahannya padaku. “Aku harus pergi, ayahku ditugaskan di luar pulau,” itu perkataan terakhirnya padaku. Tak lama kemudian, Mona pun ikut pindah. Aku merasa hidupku begitu indah, tak ada lagi orang yang selalu menekanku, mencari masalah denganku. Tapi justru itulah yang memunculkan konflik baru. Kebahagiaanku membuatku menjadi liar, aku tak peduli lingkungan sekitarku, yang aku tahu hanya memuaskan batinku.

Semua itu kujalani dengan indah, sampai aku tahu, aku telah mengecewakan banyak orang. Mereka menganggap, aku tak lagi seperti dulu. Aku bingung, hatiku risau. Aku tahu aku terlalu berlebihan, saat aku diam, aku sering melamun. Saat aku bahagia, aku terlalu liar. Saat aku marah, emosiku meledak tak terkendali. Aku ingin kembali, tapi aku takut kejadian masa laluku akan terulang, aku ingin maju, tapi terlalu banyak mata yang menatapku sinis. Aku hanya bisa diam, karena aku memang sangat labil, sebab jiwaku memang sedang dilanda badai. Hanya bisa menanti sampai badai telah reda dan gerimis pun telah usai.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Aku Hanya Sahabat Hatimu


Langit mulai redup ketika rembulan hendak bercengkerama dengan malam. Lampu-lampu kota mulai menyala memberikan nuansa kehangatan di setiap sudut kota. Namun Livia masih sibuk dengan pekerjaan, yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Di sampingnya, duduk sahabatnya, Boy. Laki-laki itu terlihat serius mengamati setiap goresan pena Livia di buku tulis tebal bergaris warna-warni itu. Mereka tak saling bicara, hingga tak terdengar suara barang sedikitpun di ruangan itu. Hanya suara gesekan lembaran buku dan detik jam dinding. Waktu terus berlalu sampai mereka sadar kalau langit hitam telah bertabur kerlip bintang. “Sudah malam rupanya, aku harus pulang. Biarlah sampai segitu saja, tak usah sampai selesai,” kata pemuda itu sembari menarik bukunya perlahan. Livia diam saja, ia hanya melepaskan buku itu dari genggamannya sambil mengamati sahabatnya itu, lalu tersenyum kecil ketika ia pamit pulang.

Malam semakin larut dan suasana jalanan berangsur sepi. Livia belum tidur juga, ia masih sibuk dengan dunianya sendiri. Mengerjakan hal-hal sepele yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh teman-temannya. Namun karena itulah cara berpikirnya begitu cepat dewasa. Tak ada yang tahu apa yang dikerjakannya ketika ia berjam-jam di kamar, sekalipun orang tuanya. Livia selalu punya kesibukan sendiri, ia jarang bergaul dengan teman-temannya dan ia tak pernah memusingkan hal-hal yang dianggap penting oleh teman-temannya. Termasuk tentang cinta. Di benaknya hanya terdapat sejuta design yang kreatif dan menakjubkan. Cita-citanya hanya satu, menjadi designer ternama. Sampai angin malam berhembus di dadanya. Memberikan rasa yang tak pernah ia rasakan.

Surya pagi mulai terpancar dari setiap celah langit pagi. Memberikan kehangatan bagi setiap insan di bumi. Menemani Livia yang telah duduk di bangku kayunya ketika teman-temannya belum datang. Sesekali ia keluar kelas, lalu kembali lagi. Seperti ada yang mengganjal di hatinya. Beberapa menit berlalu hingga terlihat sosok yang mengusik hatinya. “Boy!,” pekiknya. Hampir setiap hari hal itu terulang, tapi seperti ada yang berbeda hari itu. “Biasanya kau diam saja kalau aku datang,” ujar pemuda itu heran. Livia diam saja, ia justru menyembunyikan pandangannya. Sepertinya ia takut kalau sepasang bola mata mereka bertemu, karena ia tahu ada rasa yang berbeda muncul di hatinya.

Hari itu terasa begitu cepat bagi Livia, tak terasa mentari telah bersinar begitu terik dan jam pelajaran telah usai. Seperti biasanya, Boy menanti di depan gerbang sekolah untuk bertemu dengan Livia sebelum pulang. Siang itu, Livia sengaja menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Boy yang baru. Selain itu, ia juga ingin memastikan rasa yang terus merongrong batinnya itu. Sudah hampir setengah jam mereka berjalan, menapaki tanah tandus dan debu kota yang kian tebal. Sesekali tercium bau amis sampah dan anyir jembatan kota. Jalanan kumuh dan aspal yang telah berlubang jadi saksi bisu perjalanan mereka. Sesekali Livia mencuri pandang pada Boy, tubuhnya terlihat semakin kurus dan kulitnya semakin hitam. Hati gadis itu bergetar, seperti ada nyanyian iba melantun di hatinya. Jalan semakin sempit ketika mereka sampai di rumah Boy. “Ini Liv, rumah baruku,” ujarnya. Livia diam saja, hanya memandang nanar bangunan itu.

Livia masih tercengang ketika ia memasuki rumah itu. Di ruang tamu, masih terpampang foto ayahnya. Laki-laki yang telah menelantarkan Boy dan ibunya demi wanita lain. “Di mana ayahmu, Boy?” pertanyaan itu keluar begitu saja tanpa gadis itu sadar. “Di rumah mewahnya, bersama isteri barunya,” suara pemuda itu bergetar, menyiratkan luka yang menganga di dadanya. Kemudian ia masuk ke dalam sejenak, lalu keluar bersama sekotak kado kecil. Diam-diam Livia tersenyum, ia merasakan kalau rasa yang mengusiknya bukanlah cinta, hanya sebatas iba terhadap kondisi sahabatnya. Tapi sayang, baru beberapa menit ia yakin rasa itu bukan cinta, keadaan memaksanya untuk kembali ragu. “Lagi-lagi dia menolak pemberianku, Liv,” ujarnya sembari menunjukkan kotak kecil itu.

Siang itu, bukan kali pertama Boy bercerita tentang kisah asmaranya. Dan bukan kali pertama pula Livia melihat air mata Boy mengalir karena gadis lain. Tapi kali ini ada yang berbeda. Biasanya dengan mudah Livia menghiburnya, membantu mendekatkan sahabatnya itu dengan gadis pujaannya, tapi tidak hari itu. Hati Livia begitu perih mendengar sahabatnya itu masih menaruh perasaan pada seorang gadis. Dalam hati ia berbisik, supaya gadis itu tak mau menambatkan perasaannya pada Boy. Buru-buru Livia pamit pulang sebelum Boy menyadari sikapnya yang berubah.

Hari demi hari berlalu, Livia selalu menghindar jika Boy mau bercerita tentang gadis pujaannya itu. Ia takut kalau suatu saat ia harus melepaskan sahabatnya itu untuk gadis lain. Hingga suatu hari, Livia sadar kalau cintanya hanya mimpi di siang hari yang tak akan jadi nyata. Perlahan ia melupakan sahabatnya itu, merobek-robek gambar pemuda yang tersimpan di hatinya itu. Sampai ada kumbang lain yang menghinggapinya. Saat itu, Livia mulai belajar tentang cinta. Bersama Leon ia belajar arti sebuah hubungan. Saat itu pula, ia menerima surat cintanya yang pertama.

Perlahan gadis itu membuka amplop merah jambu dengan wangi parfum semerbak mengalun. Ia sudah tak sabar membacanya. Namun itu bukan dari Leon, melainkan Boy.

Dear Livia,

Aku hanya ingin menyampaikan apa yang seharusnya sejak dulu aku sampaikan. Sebenarnya aku tak pernah menganggapmu sebagai sahabat, melainkan lebih dari itu. Aku selalu mencoba melupakanmu dengan menaruh hati pada gadis-gadis lain, tapi tak ada yang sepertimu. Aku tahu aku tak pantas untukmu, karena itu, aku memendam perasaan ini, biarlah aku melepasmu daripada harus membawamu ke dalam penderitaanku. Maaf kalau aku terlalu pengecut untuk mengatakan ini langsung padamu, tapi percayalah, wajahmu memang pernah menghiasi dinding hatiku. Jadi, kuucapkan selamat atas hubunganmu dengan Leon, aku yakin dia lebih bisa membahagiakanmu. Terima kasih karena kau selalu ada untukku dan untuk tugas-tugasku, maaf kalau aku selalu merepotkanmu. Sebenarnya, bukan karena aku tak bisa mengerjakannya tapi karena aku begitu rindu melihat jemarimu menari di atas buku tugasku. Sekali lagi, terima kasih “sahabat hatiku”.

Boy


“Aku juga,” bisik Livia dalam hati.

Esok harinya, ia sempatkan berkunjung ke rumah Boy, dilihatnya tubuh pemuda itu lekat-lekat. Tubuh yang pernah menggetarkan hatinya, tapi sekarang rasa itu telah hilang, benar-benar hilang.

“Kau sudah baca suratku?”
“Sudah, aku...”
“Aku tahu, kau akan kuliah di luar negeri, kan?”
“Iya”
“Ya sudah, aku tahu kau akan lebih baik dengan Leon, dia orang cerdas, sama sepertimu”
“Tapi kau...”
“Tak apa-apa, biarlah kau bahagia aku juga pasti akan bahagia”
“Kau janji?”
“Janji apa?”
“Kalau kau akan bahagia?”
“Semoga...”
“Besok aku dan Leon berangkat ke Aussie”
“Pergilah, buktikan padaku kalau kau bisa jadi designer handal, seperti yang selalu kau ceritakan padaku dulu”
“Boy, aku...”
“Sudahlah lupakan aku, aku hanya serpihan kecil dari kehidupanmu”

Perlahan Livia meninggalkan tempat itu, dari kejauhan ia melihat sahabatnya itu tersenyum, ia begitu ikhlas mengorbankan perasaannya. Pemuda yang telah mengajari Livia tentang tulusnya cinta dan indahnya persahabatan.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar