Maaf, Aku Telah Melukaimu


Sisa-sisa air hujan masih menggenangi jalan pulangku sore itu. Hawa dingin berhembus melewati celah-celah mantelku. Tapi aku tak mempedulikannya. Kupercepat langkahku untuk segera sampai ke rumah. Setibanya aku di rumah, aku mengunci diri di kamar. Kuhempaskan tubuhku yang terasa berat, tapi ringkih itu ke atas tempat tidurku. Perlahan kuambil handphone dari saku celanaku, hendak kulihat isi pesannya tapi aku takut. Aku takut kalau air mataku harus terjatuh lagi. Kuletakkan handphone itu di sampingku, kutata batinku, lalu kuberanikan untuk membaca pesan yang tertera di situ. Belum sempat aku membuka pesan itu, handphoneku sudah bergetar lagi. Dan lagi-lagi dari dia. Sepertinya dia memang tak mau dengar maaf dariku. Ingin aku membalas pesan itu, tapi aku tak berani, aku selalu takut dengannya, bahkan meski aku di pihak yang benar sekalipun. Aku memang seorang penakut, aku tahu itu, tapi sayang aku tak tahu bagaiamana mengubahnya. Setiap hari dia selalu sinis padaku, memusuhiku tanpa alasan yang jelas. Aku terluka, batinku begitu perih, tanpa aku tahu obatnya. Aku hanya bisa menangis. Hingga air mataku seakan mengajariku sesuatu. Mengubahku menjadi sosok yang tegar, kuat, dan bisa menghadapi persoalan. Semenjak itu, aku tak pernah lagi menangis, aku tak lagi takut menghadapi siapapun. Namun, masa laluku ternyata sangat mempengaruhi emosiku. Ia begitu labil, terkadang lembut, terkadang liar tak terkendali. Aku tak lagi mau diatur oleh orang lain. Karakterku menjadi keras dan terkadang memberontak.

Malam itu, aku terpaksa menangis. Bukan karena orang lain, bukan pula karena cinta. Aku marah dengan diriku sendiri. Aku jengkel dengan keadaanku. Aku putus asa. Mataku menerawang jauh ke angkasa, tapi tak ada yang merambati benakku, selain ingatan akan perkara-perkaraku yang lalu. Aku tak pernah bisa berdamai dengan emosiku. Dalam menghadapi setiap persoalan, aku tak pernah bisa tenang. Amarahku begitu mudah tersulut, sebelum aku sempat meredamnya. Aku tumbuh menjadi gadis temperamental dengan emosi yang liar tak terkendali. Entah sudah berapa banyak hati yang kecewa bahkan terluka karenaku.

Esok harinya, ternyata pagiku tak sehangat cahaya mentari yang terpancar menerobos tabir langit. Mona, orang yang dulu pernah menyiksa batinku kembali mengusikku. Aku tak menghiraukannya. Hanya diam, menahan emosiku yang mulai bergejolak. Sesekali aku ke kamar mandi, mencoba meredakan gejolak dadaku juga untuk membasuh air mataku. Air mata yang terjatuh bukan karena Mona, tapi karena menahan gejolak emosi yang semakin menjerat. Tapi tetap saja tak berhasil. Pada akhirnya kami bertengkar. Aku tak peduli ada berapa pasang mata yang melihat kami, semua terjadi begitu saja. Dan pada akhirnya, aku selalu menyesal atas apa yang tadi kulakukan.

Semenjak kejadian itu, aku sering melamun. Aku tak pernah bisa konsentrasi. Terkadang aku tersenyum sendiri, kemudian menangis tanpa sebab yang jelas. Banyak orang yang mulai membicarakanku, aku sangat tak nyaman dengan itu, tapi aku harus menerimanya. Hingga perasaan itu muncul, melunakkan segala yang keras dan mencairkan semua yang beku. Aku tak tahu bagaiamana ia bisa hadir. Namun yang jelas dia telah menyapa hatiku, menerangi selasar hatiku yang suram. Aku rasa, aku bisa melupakan sejenak persoalanku, karena pria itu benar-benar bisa memainkan emosiku. Pernah ia memberiku boneka beruang, tapi aku menolaknya. Karena aku takut, perasaan ini bukanlah cinta, hanya sebatas kagum yang suatu saat akan hilang.

Semakin hari, semakin aku belajar banyak hal, dia mengajariku untuk mengerjakan segala sesuatu dengan seimbang, tidak berlebihan dan tidak kurang. Hidupku mulai tertata demikian pula emosiku. Namun, sayang, di saat aku mulai bisa untuk menjalani kehidupanku dengan lebih baik, keadaan memaksa kami untuk berpisah. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Yang pasti, ada sesuatu yang berdesir di hatiku saat ia mengucapkan salam perpisahannya padaku. “Aku harus pergi, ayahku ditugaskan di luar pulau,” itu perkataan terakhirnya padaku. Tak lama kemudian, Mona pun ikut pindah. Aku merasa hidupku begitu indah, tak ada lagi orang yang selalu menekanku, mencari masalah denganku. Tapi justru itulah yang memunculkan konflik baru. Kebahagiaanku membuatku menjadi liar, aku tak peduli lingkungan sekitarku, yang aku tahu hanya memuaskan batinku.

Semua itu kujalani dengan indah, sampai aku tahu, aku telah mengecewakan banyak orang. Mereka menganggap, aku tak lagi seperti dulu. Aku bingung, hatiku risau. Aku tahu aku terlalu berlebihan, saat aku diam, aku sering melamun. Saat aku bahagia, aku terlalu liar. Saat aku marah, emosiku meledak tak terkendali. Aku ingin kembali, tapi aku takut kejadian masa laluku akan terulang, aku ingin maju, tapi terlalu banyak mata yang menatapku sinis. Aku hanya bisa diam, karena aku memang sangat labil, sebab jiwaku memang sedang dilanda badai. Hanya bisa menanti sampai badai telah reda dan gerimis pun telah usai.

Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar