Cinta untuk Sang Camar


Di tempat aku ada, aku hanyalah seekor burung camar. Terbang di atas ombak yang indah bergulung, menari di tengah samudera yang tenang. Menyaksikan matahari yang telah tua hingga berganti rembulan muda. Bersembunyi ketika tetes-tetes hujan bercumbu dengan bumi. Aku hidup meliar. Aku pergi kemana pun angin membawa. Aku hidup sampai masa memanggilku.

Namaku Lea.

Lautan adalah hidupku. Ombak yang tak pernah lelah berkejaran telah lama menjadi sahabatku. Aku selalu bercerita padanya, meski aku tak pernah mendengar jawabnya. Tapi aku bisa merasakan, merasakan kehadirannya. Meski itu hanya ilusi. Ah, apalah bedanya ilusi dengan kenyataan ? Mimpi adalah hidupku dan kenyataan adalah tidurku. Aku punya duniaku sendiri, dunia yang berbeda dari yang telah ada. Aku suka pergi ke tempat di mana aku tidak ada. Aku suka menyendiri, tenggelam dalam ilusiku, bernaung pada khayalanku. Aku suka berwisata ke tempat-tempat yang bahkan aku tidak tahu apakah tempat itu benar-benar ada. Tapi aku menikmatinya. Aku suka dengan dunia yang aku ciptakan sendiri. Karena di sana aku bisa menangis dan tertawa tanpa ada yang bertanya, “Kamu kenapa ?” Entah kenapa aku benci orang-orang yang suka melibatkan dirinya pada hidupku. Aku bisa menuntaskan air mataku sendiri. Meski ada beberapa yang aku percaya untuk menyimpan permasalahanku. Tapi aku percaya, bagi mereka tangisanku hanyalah tangisan anak kecil yang meminta permen. Tapi perasaanku begitu rapuh, mudah patah bahkan hanya oleh angin sepoi.

Siang begitu terik hari ini, matahari seakan menghujamkan sinarnya ke bumi. Aku terbang di udara yang bising. Suasana begitu riuh, entah apa yang manusia-manusia itu ributkan, aku tak tahu. Dan tak ingin tahu. Maka aku terbang agak jauh dari tempatku. Mencari celah-celah kosong yang hampa, lalu mematikan segala akalku dan menghidupkan hatiku. Terkadang aku ingin tertawa, tapi saat tawaku berhenti yang kudapati hanya tetesan air mata. Karena itu, bagiku kebahagiaan tak dapat didapati, tapi kebahagiaan itu diciptakan oleh diri kita sendiri. Dan sejak itu, aku tak pernah lagi mengharap kebahagiaan pada orang lain.

Hingga di suatu pagi yang dingin. Saat jalanan beraspal yang telah banyak berlubang oleh truk pengangkut pasir tampak berkilat terguyur hujan semalam dan sisa-sisa air hujan itu masih menggenangi ceruk-ceruknya. Aku bertengger di bibir perigi, hendak menyapa sang surya yang sebentar lagi datang. Dari kejauhan kulihat suara yang begitu indah. Suara yang berat tapi bisa melengking indah. Lalu sosok itu muncul. Begitu gagah, begitu kuat, hingga membuat hatiku bergetar.

Siangnya ketika aku kembali ke kawananku, setelah sekian lama aku meninggalkan mereka. Tapi sepertinya mereka tidak sakit hati, mereka membiarkanku datang dan pergi begitu saja. Lalu aku bercerita, tentang makhluk gagah itu. Sejenak mereka diam lalu menatapku lekat-lekat. Seperti memastikan kalau aku masih waras. Hingga tawa mereka pecah. “Kau ini sudah gila rupanya! Kau tahu, yang kau maksud itu seekor rajawali,” kata salah satu dari mereka. “Sudahlah, sebentar lagi musim dingin, kita harus bermigrasi,” lanjutnya. Tapi diam-diam aku memisahkan diri dari mereka. Aku bersembunyi di balik karang. Sampai mereka semua terbang dan bunyi kelepaknya tak kudengar lagi. “Apa salahnya berharap cinta pada seekor rajawali?” pikirku.

Langit telah menjadi ungu ketika aku melihatnya lagi. Kuputuskan untuk mengikutinya ke sarang. Lalu aku tiba di sarangnya yang hangat, di celah sebuah tebing dekat pantai.

Berhari-hari kutunggu dia di sana. Di celah kecil dekat sarangnya. Berharap dia menemukanku atau aku yang menemukan dia. Karena aku tak mau betinanya tahu, kalau aku ada. Karena aku juga tak mempedulikan keberadaannya. Mungkin aku seperti hendak merebut milik orang lain, tapi aku punya alasan yang kuat. Aku kehilangan kawananku, atau aku yang menghilang dari mereka. Ah, tak penting juga kupermasalahkan, yang penting sekarang aku ada karena perasaan yang menuntunku.

Tiba-tiba aku mengantuk, seperti ada yang memanggilku di alam mimpi. Lalu aku melihat cahaya putih, tapi tidak semuannya putih, ada noda semu di sana, yang semakin lama semakin jelas. Mungkin noda itu aku, lalu cahaya putih itu adalah betina rajawali yang selalu setia menanti pejantannya. Mungkin suatu saat nanti, dia akan tahu, kalau ada aku yang juga menunggu pasangannya. Barangkali saat itu dia akan sakit hati, atau justru menertawakan aku. Namun, tiba-tiba ada hawa dingin yang menyusup ke dalam setiap helai bulu-buluku. Lalu semuanya menjadi putih. Aku pikir, aku masih bermimpi, tapi ternyata semuanya memang benar-benar putih. Salju telah turun dan aku tak yakin aku dapat bertahan. Sepertinya aku akan mati, mati bersama cintaku yang baru saja muncul. Kemudian, aku menutup kembali mataku, bersiap untuk tidur, mungkin kali ini untuk selamanya.

Saat aku bangun, aku melihat sesuatu yang berwarna kuning tepat di mataku. Lalu aku sadar, itu adalah paruh yang kekar, yang berwarna kuning mengkilat. “Kau hampir mati kedinginan tadi, maka kau kubawa ke sarangku,” ujarnya lembut. Kuamat-amati dia. Tubuhnya tampak lebih kecil. “Namaku Mercy, sebentar lagi pasanganku pulang, biar aku kenalkan padamu nanti,” sambungnya. Astaga! Jantungku terasa berhenti berdegup saat itu. Dia, dia yang seharusnya memusuhi aku justru menyelamatkan aku. “Seandainya kau tahu, apa yang ada di hatiku, mungkin kau langsung membunuhku tadi,” batinku.

Aku tak tahu apakah itu masih pagi, atau telah sore. Sebab matahari seakan sudah bermigrasi ke tempat lain. Ke tempat yang seharusnya aku ada bersama kawananku. Langit hanya berwarna putih, seperti susu yang membeku lalu menjatuhkan bunga-bunga esnya ke bumi. Dingin. Lalu tiba-tiba dia datang. Aku bisa merasakan bulu-bulunya yang dingin berbalut salju tipis. Lalu Mercy menyekanya dengan sayap kanannya, kemudian mereka berpelukan, seperti berbagi kehangatan. Aku memandang nanar sepasang makhluk yang sedang berbagi cinta itu. Aku cemburu.

“Sayang, ini Lea, aku menemukan dia di sebuah lorong di ujung tebing ini, dia hampir mati kedinginan tadi,” ujar Mercy pada makhluk gagah itu. Pejantan itu memandangiku lekat-lekat sembari mendekatkan moncongnya yang dingin dan tajam. Tapi aku bisa merasakan, ada kehangatan dan kelembutan di balik bulu-bulunya yang indah itu. “Namaku Leon,” bisiknya. Kurasakan nafasnya yang hangat mengalir masuk ke telingaku, menghangatkan setiap pembuluh darah di telingaku lalu meresap masuk ke dalam hati. Aku semakin menggilainya.

Kulihat langit mulai berangsur gelap. “Sudah malam, bermalamlah di sini,” ujar Mercy lembut. Ia seperti tahu apa yang kuharapkan. Lalu kami terlelap. Aku rasa, aku sedang memimpikan musim panas yang hangat. Sesekali tubuhku menggeliat, seolah menikmati mimpi itu. Perlahan kubuka mataku, memastikan kalau musim tak benar-benar berganti. Kulihat salju masih turun, tapi mengapa aku merasa begitu hangat? Astaga! Bulu-bulu itu ternyata benar-benar melingkupiku. Bulu yang begitu lembut dengan hembusan nafas hangat yang mengalun bagai simfoni yang bercumbu dengan angin malam. Aku rasa Leon tak sengaja melakukannya. Kulihat ia masih terlelap. Aku tak ingin membuat Mercy cemburu besok pagi. Aku takut dia bangun dan melihat suaminya memelukku seperti ini. Perlahan kupindahkan lengan kekarnya dari tubuhku, meski sebenarnya aku tak rela. Lalu aku kembali tertidur.

Saat aku bangun, aku tak lagi menemukan burung kekar itu. Hanya ada Mercy yang sibuk mengumpulkan semak-semak yang setengah beku di ujung sarang. Aku hanya memandanginya sesaat lalu memalingkan wajahku. Karena aku memang tidak peduli. Dia melakukan itu sepanjang hari. Lalu diam di situ sampai petang menjemput Leon untuk pulang. Aku tersenyum padanya saat ia menyelesaikan kepakan terakhirnya. Tapi sepertinya ia tidak peduli. Mata terus memandang heran isterinya. Perlahan ia mendekat, lalu Mercy mengangkat sedikit selangkangannya sambil tersenyum. Tampak Leon begitu terperanjat. Begitupun aku. Terlihat sebutir telur putih mengkilat tergeletak di situ. Segera pasangan itu berpelukan mesra. Aku memandang mereka lekat-lekat. Aku tak lagi cemburu, tapi aku merasa begitu berdosa. Aku ada di tempat ini hanya untuk merenggut kebahagiaan mereka. Aku terbelenggu dengan cintaku yang terlampau tinggi.

Tak lama setelah itu, aku merasakan aku sudah terbang menerobos hawa dingin yang begitu ekstrim. Aku tak tahu apa yang menggerakkan sayap-sayapku. Yang jelas, sekarang aku sudah pergi bersama perasaanku yang kupaksa pupus. Kulihat air mataku jatuh dan segera membeku berbaur dengan salju. Aku hanya berharap agar perasaanku juga cepat membeku bahkan mungkin bersama dengan tubuhku. Karena baru aku mengerti kalau cita berbeda dengan cinta. Cita dapat dikejar setinggi-tingginya, tapi cinta mencari yang sepadan.


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar