Brenda


Hari mulai sore ketika semburat merah jingga mulai berpadu dengan ungu menggantikan langit biru kala itu. Aku masih berjalan menyusuri gang sempit diantara kawasan padat penduduk yang kian kumuh. Hingga langkahku terhenti, bersamaan dengan cahaya mentari yang telah redup. Sepasang mata cokelat yang berkilat-kilat menatapku dalam-dalam. Aku pun membalas tatapannya, hingga dua pasang bola mata kami berpadu, menghasilkan hawa sejuk yang berhembus di hati kami. Tak lama berselang, ia mulai menghampiriku. Menatapku ragu, aku terduduk di jalanan aspal, kemudian meletakkan kepalanya di pahaku. Lalu aku berdiri, setelah beberapa saat “bercinta” dengannya. Tapi ia terus mengikutiku sampai ke ujung gang. Aku menoleh padanya sembari mengangkat tubuhnya dan membawanya ke tempat di mana kami saling bertemu. Baru beberapa detik aku meletakkannya, terdengar suara wanita separuh baya berteriak-teriak. “Sudah kubilang, jangan kembali kemari! Rumahku sudah penuh dengan gonggonganmu yang sangat mengganggu!” marahnya. Anjing kecil itu menatapku. Tapi tatapannya telah berubah, bola mata cokelatnya tak lagi bersinar terang, sinarnya perlahan redup bersamaan dengan ekornya yang tak lagi berdiri tegak. “Rupanya kau dibuang?” tanyaku. Ia menjilati tanganku seakan sebagai tanda kalau ia siap menjadikanku sebagai “tuannya” yang baru. Kuangkat tubuh mungilnya sambil melanjutkan langkahku, di jalan aku berpapasan dengan wanita muda yang sepertinya mengenal anjing itu. “Kau mau merawatnya?” tanyanya padaku. “Iya,” jawabku singkat. Kemudian ia mengelus lembut kepala anjing itu. “Kasian anjing ini, sudah seminggu yang lalu ia dibuang oleh majikannya, di siang hari, ia selalu melongok di depan pintu untuk mendapatkan secuil roti atau sepotong ikan teri, di malam hari ia tidur di depan rumah majikan yang telah membuangnya. Syukurlah, kalau sekarang ia sudah punya majikan baru,” ujarnya lirih. Aku tersenyum padanya, lalu menatap anjing itu. “Kau tahu, siapa namanya?” tanyaku. “Ia belum diberi nama,” jawabnya. Kupandangi lagi anjing itu sambil kubelai bulu cokelatnya yang halus. “Mulai sekarang, aku akan memanggilmu dengan nama, Brenda,” kataku. Anjing itu menyalak dan sepertinya dia suka nama itu.

Waktu terus berputar dan Brenda telah tumbuh besar. Setiap hari kami bermain bersama, bahkan tidur bersama. Ia selalu membangunkanku setiap pagi dan aku tak pernah lupa memberinya sarapan. Aku tahu, dia bukan anjing ras dan makanannya pun tak seperti anjing-anjing mahal. Pernah sekali kuberi biskuit anjing yang cukup mahal tapi ia hanya mengendusnya sekali lalu meninggalkannya. Ia suka semua jenis makanan manusia, terutama daging ayam dan daging sapi. Namun, ia tidak akan melahapnya jika hanya direbus, seperti yang kubilang tadi, daging itu harus dimasak dan dibumbui seperti layaknya makanan manusia. Aku justru senang melihatnya. Itu tandanya ia sangat bersahabat dengan manusia. Hari-hariku terasa sangat menyenangkan hingga suatu hari dimana aku harus berpisah dengannya.

Waktu tiga tahunku terasa begitu cepat dan hari ini aku harus ke Surabaya untuk tinggal selama empat tahun. Hari-hari pertamaku selalu diliputi bayang-banyang Brenda. Aku hanya bisa pulang setahun sekali karena jadwalku begitu padat bahkan pada liburan akhir semester. Di tahun pertama aku pulang, Brenda masih baik-baik saja. Begitupun untuk tahun-tahun berikutnya. Sampai pada tahun ketiga ia sudah mulai sakit-sakitan. Aku pikir sakitnya tak begitu parah karena ia masih mau makan dan diajak bermain. Karena aku khawatir dengan keadaannya, enam bulan berikutnya kusempatkan untuk pulang, kulihat tubuhnya semakin kurus dan matanya sering berair. Aku bawa ia ke dokter dan ia hanya diberi vitamin untuk meningkatkan nafsu makannya. Hingga dua bulann sebelum aku mengikuti wisuda, sakitnya kambuh lagi dan yang ini cukup parah. Ia tidak mau makan dan berjalan pun sulit. Saat kubawa ke dokter, kondisinya sudah drop. Aku sudah mengikhlaskan jika ia akan pergi untuk selamanya, tapi ia masih bertahan. Sampai aku sukses menjadi sarjana, ia masih setia menungguku, dan menjilati tanganku saat aku mengelusnya. Tiba-tiba ia melihatku yang masih memakai baju togaku, kemudian ia menyalak sekali sambil menggerakkan ekornya yang telah lemas. Lalu ia menutup matanya perlahan dan nafasnya terhenti. Ia mati setelah melihatku menjadi sarjana dan memberiku ucapan selamat untuk yang terakhir kalinya. Saat itu kedua kakiku terasa begitu lemas dan aku menunduk, mengelusnya untuk yang terakhir kalinya dan meneteskan air mataku untuk sahabatku yang selalu setia. Kuangkat tubuhnya yang telah kaku, mengingatkanku pada saat pertama kali aku menggendongnya. Kukuburkan dia di sudut pekarangan, lalu kuhapuskan air mataku.

Sebulan berselang, dan aku mulai disibukkan dengan pekerjaan baruku. Dan lelaki yang tiga tahun belakangan ini telah mengisi hatiku pun mulai sibuk dengan pekerjaannya pula. Namun, di sela-sela kesibukan itu, kusempatkan beberapa menit waktuku untuk mengenang Brenda. Karena sampai sekarang, aku masih menantikan datangnya Brenda-Brenda lain yang mungkin dapat bermain bersama anak-anakku kelak.


Glitter Words
[Glitterfy.com - *Glitter Words*]
Category: 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar